Rabu, 08 Maret 2017

Ketika Pegiat Sejarah Tapal Kuda Berkumpul

Bentuk Komunitas, Minta Revisi Hari Jadi jember


Pegiat sejarah di Jember berkumpul membentukkomunitas bersama pegiat lain di kawasan tpal kuda. Mereka mendorong penulisan kembali sejarah lokal dan merevisi Hari jadi Jember.

ADI FAIZIN, Jember

    Hari Jadi jember yang kini berlaku adalah 1 Januari 1929. Di kalangan sejarawan dan masyarakat pegian sejarah, tanggal 1 Januari 1929 itu menjadi kontroversi. Sebab, penetapan hari jadi itu berdasarkan dokumen kolonial. Padahal, Jember memiliki sejarah yang lebih panjang.
    Protes di kalangan pegiat sejarah itu direspon Pemkab Jember dengan pembentukan tim khusu untuk meninjau ulang Hari Jadi Jember yang selama ini masih mengacu pada Staatblad 322. "Pada tahun 2015, tim yang dibentuk itu sudah menghasilkan rekomendasi tentang Hari Jadi Jember yang didasarkan kajian lebih mendalam. Namun, hingga kini tidak ada tindak lanjut dari Pemkab," ujar Zaenollah Ahmad, salah seorang anggota tim kajian Hari Jadi Jember saat itu.
    Dia mneyangka tidak adanya repon dari pemerintah terhadap desakan revisi Hari Jadi Jember. "Uang rakyat digunakan untuk tim kajian menjadi percuma. Yang lebih penting, Hari Jadi Jember yang sekarang itu terlalu Belanda-sentris dan tanpa ada kajian yang mendalam," sesal pria yang juga aktif sebagai pegiat sejarah di Komunitas Sejarah Bhattara Saptaprabhu,
    Sejatinya tim kajian sudah membuat tiga opsi tentang penetapan Hari jadi Jember. Opsi paling kuat adalah peristiwa perjalanan Hayam Wuruk ke Jember pada 18 September 1259.
    Opsi lainnya mengacu pada peristiwa pemisahan Blambangan Barat dan Blambangan Timur serta lepasnya Jember dari Kabupaten Bondowoso. "Yang peristiwa Hayam Wuruk ini paling kuat karena ada historynya.


Hayam Wuruk Pernah Singgah di Jember


Sedangkan yang dua opsi sisanya tidak ada keterangan tanggalnya,"ujar Zenollah.

Sejarah Jember, menurut Zaenollah, telah merentang jauh ke belakang hingga zaman klasik. Hal itu sudah ia tuangkan dalam buku berjudul "Topographia Sacra : Menelusuri Jejak Sejarah Jember Kuno" yang terbit pada 2015.

Kritik atas HAri Jadi Jmeber itu kembalimengemuka dan menjadi salah satu bahasan serius dalam diskusi dan sarasehan yang digelar delapan anggota komunitas pegiat sejarah se-Tapal Kuda. Mereka berkumpul di situs purbakala Duplang, Desa Kamal, Arjasa. Mereka lantas mendeklarasikan Komunitas Pegiat Sejarah Se-Tapal Kuda.

Situs Duplang dipilih, selian sebgai museum terbuka, juga menjadi simbol kejayaan peradaban Jember dan kawasan Tapal Kuda di masa prasejarah. "Kami sebelumnya intens berkomunikasi dan berdikusi di sosial mesia. Kami terikat dengan sejarah masa lalu yang menyatukan kawasan Tapal Kuda ini," tutur Zaenollah, yang menjadi ketua panitia deklarasi dan diskusi tersebut.

Sebenarnya, sejarah klasik Tapal Kuda dimulai dari Kerajaan Lamajang tigang Juru. Salah satunya adalah eilayah Jember, yaitu Kedhawung, juga pernah menjadi ibukota Kerajaan Blambangan. "Letak ibukota tersebut masih terjadi kontroversi di kalangan sejarawan. Sebagian ada yang menyatakan di Kutha Kedhawung Paleran, Umbulsari,"  tutur guru sejarah SMP PGRI 1 Rmbipuji ini. Kedua Kedahwung itu sam-sama memiliki bukti arkeologis.

Lebih lanjut, Zainollah juga prihatin karena penulisan sejarah di Tapal Kuda, khusunya Jember, yang masih terfokus sejarah perkebunan kopi semata. "Karena kami memulai penulisannya dari sejarah kuno. Kami juga berharap agar akademisi sejarah di Jember lebih aktif, tidak hanya di balik meja saja," ujar alumnus Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Jember ini.

Pernyataan Zainollah ini diamini oleh Retno Winarni, sejarawan Universitas Jember yang turut hadir dalam deklarasi yang saresehan tersebut. Sebelum masa penjajahan, sebagian wilayah Probolinggo, lalau Jember, Banyuwangi, Situbondo, dan Bondowoso terikat menjadi satu kesatuan wilayah di bawah kerajaan Blambangan. "Dulu ibu kotanya di Panarukan, lalu pindah ke Jember lalu pindah ke Banyuwangi. Makanya disebut Tawon Madu, karena istananya kerap berpindah tempat," ujar doktor sejarah dari UGM ini.

Retno juga mengapresiasi kegigihan  dari komunitas-komunitas sejarah yang ada di tapal kuda untuk mendorong penulisan kembali sejarah lokal. Retno mengakui, penulisan sejalah lokal di Jember masih minim. "Biasanya teman-teman menulis kalau untuk kepentingan tertentu,misalkan lanjut studi.Saya salut dengan teman-teman.Semangatnya untuk menulis sejarah lokal bisa melebihi akademisi di jurusan sejarah,"ujar Retno yang banyak menulis tentang sejarah Tionghoa di Jember ini.

Dalam deklarasi tersebut,ada tujuh tekad yang diusung anggota komunitas.Di antaranya memperjuangkan cagar budaya semua tempat atau benda yang berpotensi sebagai cagar alam budaya di kawasan Tapal Kuda;menggalakkan penulisan sejarah lokal;memperjuangkan sejarah lokal sebagai bagian dari kurikulum sekolah;dan memperjuangkan ditetapkannya perda hari jadi di masing-masing kabupaten di tapal kuda berdasarkan kriteria yang kuat dan nasionalistik,lalu,memperjuangkan alokasi anggaran dalam APBD untuk konservasi,eksplorasi,rehabilitasi,serta riset sejarah;merperjuangkan wisata sejarah sebagai wisata utama daerah ;serta memperkuat komunitas pegiat sejarah sebagai unsur kekuatan masyarakat sipil.

Pegiat sejarah lainnya,Sukatman meyakini,situs Duplang merupakan salah satu pusat religus yang mendapat keistimewaan dari penguasa Majapahit.Saat itu,Majapahit menerapkan politik Swantantra atau otonomi daerah terhadap wilayah yang disebut Duplang Kamal Pandak."karena di wilayah tersebut,dimakamkan abu para raja kuno.Jadi para Brahmana dibebaskan dari kewajiban mereka membayar pajak  sebagai kompensasi atas kewajiban mereka menjaga abu para raja,"ujar doktor sastra lisan dari Universitas Negeri Malang ini.

Wilayah Duplang Kamal Pandak itu,berdasarkan penelitian Sukatman,membentang antara Desa Kamal,Arjasa hingga wilayah Desa Pandak,Kecamatan Tapen,Bondowoso."Dalunya wilayah ini terikat dalam satu kesatuan yang sama,"tutur dosen FKIP Universitas Jember ini.

Sukatman,antara lain,menggunakan pendekatan kronogram dan topomini dalam mengkaji Duplang Kamal Pandak.Kronogram adalah salah satu pendekatan dalam sastra lisan untuk memecahkan misteri sandi tahun dibentuknya benda bersejarah berdasarkan bentuk bangunan.Sedangkan topomini adalah kajian dalam sastra lisan terkait nama tempat,asal-usul,arti penggunaan dan tipologinya.(har)

Sumber:Jawa Pos Radar Jember 7 Februari 2017

Ditulis Kembali:AF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar