Senin, 13 Maret 2017

Ahmad, Bocah Tunadaksa yang Tetap Semangat Bersekolah

Tinggal di Dusun Terpencil, Guru Berharap Dikunjungi Bupati Faida

Meski tak memiliki kaki, Muhammad Najib Tarjuddin ini memilih sekolah umum. Dia pun tak mau diperlakukan beda saat menerima pelajaran sekolah.


ADI FAIZIN, Jember

SUDAH sekitar tujuh bulan, Muhammad Najib Tarjuddin, bersekolah di SDN Kamal 03, Desa Kamal, Kecamatan Arjasa. Secara fisik, pelajar kelas 1 yang akrab disapa Ahmad ini berbeda dengan teman-temannya. Ia tidak memiliki sepasang kaki sejak lahir. Namun semangat anak tujuh tahun itu tak surut dalam menuntut ilmu dan bergaul dengan teman-teman sebayanya.

"Dia semangat sekali kalau di kelas. Tidak merasa minder, juga tidak mau dibedakan atau diistimewakan," tutur Fatma Dwiyana, guru kelas 1 yang setiap hari mengajar Ahmad.

Semangat juga di tunjukkan Ahmad dengan tetap ikut pelajaran bagi anak-anak yang normal. Seperti olahraga. Meski gurunya sudah melarangnya ikut, terutama jika turun hujan dan lapangan menjadi licin, tapi Ahmad tetap bersikeras untuk ikut pelajaran olahraga. "Dia benar-benar tidak ingin dibedakan dari teman-teman sekelasnya," katanya.

Dalam bergaul, Ahmad yang hobi bermain bola juga tidak pernah merasa minder dengan teman-teman sebayanya. Di sisi lain, teman-teman sekelas Ahmad juga selalu menghargai dan tidak ada yang berani mengejek kondisi Ahmad.

Menurut Fahma, beberapa temannya kerap ingin membantu mengantarkan Ahmad jika akan pergi ke kamar mandi atau membantunya untuk duduk di kursi. Namun tawaran itu selalu di tolak Ahmad.

Sekolah Ingin Ada Bantuan Kaki Palsu

Meski tidak memiliki sepasanga kaki, Ahmad juga tetap ingin menjalankan kewajiban piket membersihkan kelas.

"Ya walaupun menyapunya memang tidak bersih, karena kesulitan berjalan. Tapi dia sendiri yang ingin ikut bersih-bersih kelas," lanjut Fatma.

Ketika Jawa Pos Radar Jember mencoba berbincang dengan Ahmad, tidak banyak ucapan yang dia lontarkan. Bocah lugu ini memang sedikit malu jika berkomunikasi dengan orang yang beru di kenal. Salah satu kendala yang dihadapi bungsu dari tiga bersaudara ini dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar hanyalah menulis.

"Tangannya sering difungsikan untuk menggantikan kaki, jadi kalau menulis agak kaku dan lamban. Tapi saya memakluminya," tutur Fatma.

Sebagai guru kelas, semula Fatma tidak mengetahui kondisi Ahmad yang tidak memiliki sepasang kaki. Pasalnya, saat pertama mendaftar, Ahmad yang didaftarkan oleh kakaknya itu tidak ikut serta ke sekolah. Sang kakak juga tidak menitipkan pesan apa pun kepada pihak sekolah.

"Sewaktu pertama kali saya suruh dia maju di depan kelas, kok dia terjatuh dari tempat duduknya. Setelah saya lihat, barulah saya tahu kondisinya seperti itu," ujar Fatma.

Setelah mengetahui keterbatasan anak didiknya, Fatma lantas menceritakannya pada teman-teman sesama guru SDN Kamal 03. Akhirnya, pihak sekolah memutuskan untuk memberi bantuan seragam dan buku tulis kepada Ahmad.

Tak lupa, Fatma juga memotivasi Ahmad, serta meminta murid yang lain untuk selalu menghargai Ahmad. "Saya bilang ada kesulitan pelajaran, bisa tanya kepada teman-temannya. Karena orang tua Ahmad kan buta huruf," jelas Fatma.

Sementara Winoto, kepala SDN Kamal 03 menjelaskan bahwa anak didiknya ini tipikal anak yang tidak mau dikasiani. "Dulu waktu upacara, disiapkan kursi khusus untuk dia. Tapi dia tidak mau dan turun ikut berbaris bersama teman-temannya," tutur Winoto.

Sejatinya, SDN Kamal 3 bukanlah sekolah inklusi (sekolah yang menggabungkan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus) dengan anak regular dalam satu kelas. SD inklusi yang ada inklusi yang ada di Kecamtan Arjasa, menurut Winoto, hanya ada di Desa Arjasa dan Desa Biting.

SDN Kamal 3 merupakan sekolah terdekat dengan rumah Ahmad yang ada di Dusun Koppang, Desa Arjasa. Karena itu, tidak ada perlakuan khusus yang diberikan untuk Ahmad sebagaimana layaknya sistem pendidikan inklusi. "Ini adalah pertama kalinya menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)," ujar guru yang suah mengajar di SDN Kamal 3 sejak tahun 1982 ini.

Meski menjadi sekolah terdekat, jarak antara rumah Ahmad dengan SDN Kamal 3 juga terhitung cukup jauh untuk anak seusia Ahmad, yakni sekitar 2 kilometer. Selain itu, jalan antara SDN Kamal 3 dengan rumah Ahmad yang terpencil, juga cukup sulit.

Selain jalanan aspal yang sudah amat rusak, jalan tersebut juga harus melewati jalanan tebing yang curam dan licin ketika hujan turun. Karena itu, Winoto berharap ada bantuan dari pemerintah berupa pemberian kaki palsu.

"Sebab kalau dia pakai kursi roda, malah berbahaya. Semoga saja Buapti Jember berkenan berkunjung disini, memberikan perhatian, termasuk pembangunan jalan desa yang memprihatinkan ini," tutur pria kelahiran 10 Oktober 1962 ini.

Selain berjalan kaki, Ahmad juga sering bersekolah dengan diantarkan dengan oleh ibunya, Nipah, 47 tahun. "Karena saya tidak tidak tega kalau setiap hari membiarkan dia berjalan sendiri dengan tangan ke sekolah," tutur Nipah.

Perempuan yang bekerja sebagai buruh tani serabutan itu, kini harus membesarkan Ahmad sendiri karena sudah dua tahun terakhir berpisah dengan ayah kandung Ahmad.

Di dalam rumahnya yang sederhana dan berbahan bambu, Nipah memasang foto Ahmad yang menggunakan seragam polisi cilik. Nipah juga selalu membesarkan hati Ahmad agar tidak minder dan tetap optimistis dalam menjalani hidup.

"Alhamdulillah, dia setiap hari bermain seperti biasa dengan teman-temannya," tutur Jumadin, paman Ahmad yang mendampingi Nipah saat menemui Jawa Pos Radar Jember. (ad/cl/hdi)


Sumber : Jawa Pos Radar Jember, 14 Februari 2017


Disalin Kembeli Oleh :(Yn) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar